SHARE

istimewa

“Di gedung Lawang Sewu Semarang, karya Schouten dibuat penuh dengan simbolisme.” Kata Handinoto dan Santoso.

Ornamen kaca patri pertama melambangkan kemakmuran dan keindahan alam tanah Jawa beserta keragaman hayati, kekayaan flora dan fauna serta perpaduan seni budaya Barat dan Timur. Kaca patri kedua bercerita tentang Semarang dan Batavia masa itu. Kaca patri ketiga menggambarkan Batavia dan Semarang sebagai pusat aktivitas maritim. Kaca patri keempat melukiskan roda terbang serta sosok Dewi Fortuna (keberuntungan) dan Dewi Venus (cinta).

Selain itu, ada karya-karya seniman lainnya. Bidang lengkung di atas balkon dihiasi ornamen tembikar karya H.A. Koopman. Kubah kecil di puncak kedua buah menara air dilapisi tembaga, sedangkan puncak menara dihiasi hiasan perunggu rancangan perupa L. Zijl.

Menurut dosen arsitektur Abdul Malik dalam “Aspek Tropis Pada Bangunan Kolonial Lawang Sewu Semarang” di Jurnal Jurusan Arsitektur Undip, Lawang Sewu merupakan satu di antara sedikit bangunan yang mempunyai perpaduan pengaruh luar (indische) dengan keunikan lokal yang kental. “Tanggap terhadap iklim maupun lingkungan sekitar,” catatnya.

Dari tampilan bangunannya, Lawang Sewu menganut gaya Romanesque Revival. Ciri yang dominan yaitu memiliki elemen-elemen arsitektural yang berbentuk lengkung sederhana.

“Penyelesaian bangunan sudut dengan adanya dua fasade serta penggunaan menara sedikit banyak diilhami oleh bentuk bangunan sudut kota-kota Eropa zaman abad pertengahan yang masih berkembang sampai saat ini,” jelasnya. “Keseluruhan gedung ini merupakan karya yang sangat indah sehingga dijuluki ‘Mutiara dari Semarang’.”

Perubahan fungsi terjadi pada masa pendudukan Jepang. Gedung ini diambil alih dan digunakan sebagai Kantor Riyuku Sokyoku (Jawatan Transportasi Jepang). Kata Dwi Andhono Murti dalam makalah-non seminar berjudul “Alih Fungsi Bangunan Lawang Sewu Pada Masa Pendudukan Jepang di Semarang”, ruang bawah tanah yang semula digunakan sebagai tempat menyimpan cadangan air untuk sistem pendingin ruangan diubah menjadi penjara bawah tanah bagi tahanan Kenpetai, polisi militer Jepang.

Lalu bagian belakang gedung, di mana terdapat sebuah lubang pembuangan, diubah menjadi penghubung ruang bawah tanah dengan halaman belakang. Oleh Jepang, lubang ini digunakan untuk membuang jenazah tahanan yang tewas dalam penjara. Maka, tak heran kalau kesan angker menyertai bangunan ini.

Kini, Lawang Sewu dikelola PT Kereta Api Indonesia dan difungsikan sebagai museum perkeretaapian Indonesia. Gedung ini juga bisa disewa untuk berbagai kegiatan. Cagar budaya ini merupakan salah satu landmark Kota Semarang yang menarik untuk dikunjungi. dilansir indonesiakaya.com

Halaman :
Tags
SHARE