SHARE

istimewa

CARAPANDANG - Sebuah gedung tua peninggalan kolonial Belanda terlihat berdiri tegak di jantung Kota Semarang. Gelap. Kosong. Eksotis sekaligus mistis. Kesan itulah yang terpancar dari Lawang Sewu, bangunan tua yang berada di dekat Tugu Muda Semarang, Jawa Tengah.

Secara harfiah, Lawang Sewu berarti seribu pintu, meski sebenarnya jumlah pintunya tidak sebanyak itu. Gedung ini awalnya dibangun sebagai kantor pusat Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), perusahaan kereta api swasta masa Hindia Belanda.

Pembangunan kantor NIS ini beriringan dengan sejarah perkeretaapian Indonesia. Ini dimulai pada 1864 dengan pencangkulan pertama pembangunan jalur kereta api Semarang-Tanggung, yang kemudian menghubungkan Surakarta dan Yogyakarta. Keberhasilan NIS membangun jalan kereta api mendorong minat investor untuk membangun rel di daerah lainnya.

NIS berkantor di Stasiun Semarang. Semakin berkembangnya perusahaan mendorong NIS membuat kantor baru yang megah. Arsitek P. de Rieu diberi kepercayaan untuk membuat desainnya. Tapi rancangannya tak jadi digunakan. Jacob K. Klinkhamer, B.J. Oedang, dan dibantu arsitek muda G.C. Citroen kemudian ditunjuk untuk mendesain dengan mengacu arsitektur gaya Belanda.

Mengunjungi Lawang Sewu merupakan pengalaman yang menyenangkan. Begitu memasuki Lawang Sewu, Anda langsung merasakan seakan berada di dalam lorong seribu pintu. Setiap ruang memiliki pintu yang letaknya sejajar. Banyaknya pintu ini berfungsi sebagai sirkulasi udara sekaligus mempermudah mobilitas pegawai NIS.

Di lantai pertama, Anda akan menjumpai beberapa ruangan berisi dokumentasi sejarah perkeretaapian Indonesia dan sejarah gedung ini. Di sudut lantai pertama terdapat sebuah tangga menuju ruang bawah tanah. Di lantai dua ada aula besar yang dahulu digunakan sebagai tempat perayaan atau pesta. Memasuki lantai tiga, Anda bisa menjumpai satu ruangan besar berjendela. Dulunya ruangan ini jadi tempat olahraga bagi pegawai NIS. Dari lantai ini bisa terlihat pemandangan sekitar Tugu Muda.

Handinoto, dosen arsitektur Universitas Kristen Petra Surabaya, dalam “Arsitek G.C. Citroen dan Perkembangan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya (1915-1940)” di jurnal Dimensi Vol. 19 Agustus 1993, menjelaskan gedung ini sengaja dirancang dengan menyesuaikan iklim setempat.

Tampias air hujan dan sorot matahari diantisipasi dengan adanya galeri keliling di sepanjang bangunan. Galeri keliling ini diberi atap dengan bertumpu pada susunan bata yang berbentuk lengkungan. Adapun kebutuhan ventilasi dan pencahayaan alami di dalam ruangannya terpecahkan berkat double gevel. Ini terlihat seperti atap susun yang mana kini sudah umum dipakai.

Dalam tulisan lain bersama Irwan Santoso berjudul “Pemberian Ciri Lokal Pada Arsitektur Kolonial Lewat Ornamen Pada Awal Abad ke-20” di jurnal Dimensi Vol. 39 No. 1 Juli 2012, Handinoto mengurai ragam hias pada Lawang Sewu. Di ruang penerima terdapat kaca patri buatan J.L. Schouten, seorang insinyur bangunan tapi lebih dikenal sebagai desainer kaca patri. Kaca patri ini sampai sekarang menjadi salah satu daya tarik utama Lawang Sewu.

Halaman :
Tags
SHARE