Beranda Umum Prinsip Pajak Berkeadilan Menurut MUI

Prinsip Pajak Berkeadilan Menurut MUI

Berdasarkan fatwa tersebut, negara boleh memungut pajak apabila kekayaan negara tidak cukup untuk membiayai kesejahteraan rakyat, dengan beberapa ketentuan mendasar.

0
Sidang Komisi A Fatwa dalam rangkaian Munas XI MUI di Jakarta. (Yana Suryana/MUIDigital)

CARAPANDANG - Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan sejumlah prinsip utama dalam Fatwa Pajak Berkeadilan. Fatwa yang dihasilkan dalam Munas XI MUI ini memberikan panduan syar'i yang komprehensif mengenai sistem perpajakan yang berkeadilan.

Berdasarkan kutipan redaksi fatwa pajak berkedadilan di laman Mui.or.id, disebutkan ketentuan hukum dari fatwa tersebut. Dimana, negara boleh memungut pajak apabila kekayaan negara tidak cukup untuk membiayai kesejahteraan rakyat, dengan beberapa ketentuan mendasar.

Pertama, pajak penghasilan hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan finansial, dengan batas minimal setara nishab zakat mal, yaitu 85 gram emas.

Kedua, objek pajak hanya boleh dikenakan pada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan/atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat). Sebaliknya, barang kebutuhan primer (dharuriyat) dikecualikan dari pungutan pajak.

"Barang konsumtif yang merupakan kebutuhan primer, khususnya sembako (sembilan bahan pokok), tidak boleh dibebani pajak," bunyi salah satu point ketentuan hukum fatwa pajak berkeadilan tersebut.

Selain itu, bumi dan bangunan yang dihuni secara non-komersial juga tidak boleh dikenakan pajak berulang (double tax).

Fatwa ini juga menegaskan bahwa pajak yang dibayarkan merupakan milik rakyat yang pengelolaannya diamanahkan kepada pemerintah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terkait
Berita Terkait