Meski masih menerima kenyataan pahit, realitas politik pemilu tahun 2024 representasi jumlah perempuan di parlemen belum ideal dikarenakan hanya satu partai politik memenuhi keterwakilan perempuan di seluruh daerah pemilihan. Suatu bukti masih jamak terjadinya diskriminasi, dan dominasi kultural yang mengistimewakan dinasti politik kekerabatan kaum laki-laki yang berambisi menyendoki hak perempuan sulit dibendung. Problem mendasar kebijakan alternatif UU belum dipraktekkan secara konsekuen dan substantif. Sehingga membuat betapa sulitnya calon anggota legislatif perempuan menembus Senayan.
Di tiap kontestasi perempuan menghadapi beragam informasi bias kepemimpinan. Diantaranya mereka pakai idiom-idiom yang mengukuhkan oligarki "memilih Imam (pemimpin) kok wedok, jangan ya dek ya Imam (pemimpin) kudu lanang, dan/atau ada pula "wanita jangan dikasih beban apalagi jadi gubernur, berat". "memilih imam (pemimpin) kok wedok, jangan ya dek ya pemimpin (imam) kudu lanang, dan/atau ada pula "wanita jangan dikasih beban apalagi jadi pemimpin, berat" dan seterusnya-seterusnya. Hal ini sebagai challenge, taruhan perbaikan demokrasi dan membongkar sistem “kerajaan”.